Jika pengorbanan nyawa yang terjadi di sejumlah negara hanya dilakukan seorang atau sekelompok pejuang dalam keadaan terdesak; dalam sejarah peperangan Jepang di Pasifik (1944), mereka siap mengorbankan nyawa dalam unit-unit khusus yang telah dipersiapkan dengan taktik menabrakkan pesawat yang mereka kemudikan ke kapal-kapal perang Amerika. Jepang menjuluki serangan yang tak biasa ini sebagai kamikaze atau yang dalam bahasa mereka berarti Angin Dewa.
Pasukan kamikaze bernama Tokkotai ini sejatinya dibentuk oleh Laksamana Madya Tokijiro Ohnisi, Panglima Armada Udara Pertama yang membawahi seluruh kekuatan udara Jepang di Filipina. Ia mengaku mendapat perintah dan kepercayaan dari Markas Besar Kekaisaran Jepang
untuk mendukung Armada Kedua Jepang yang akan memukul mundur kekuatan Amerika. Kekuatan Amerika harus diberi “perlakuan khusus” karena telah menjebol garis pertahanan utama Jepang di Pasifik, yakni di Nugini dan Kepulauan Mariana.
Kesatuan udara kamikaze ,bentukan Ohnisi akan lebih dulu menghantam armada kapal induk Amerika agar kekuatan udara AL AS tak mengganggu serangan armada laut Jepang. Pertempuran yang akan menentukan posisi Jepang di Asia Pasifik ini akan digelar di Formosa (kini Taiwan), Kepulauan Ryukyu dan tanah Jepang. Operasi militer yang dimulai 18 Oktober 1944 ini sendiri diberi nama Sho, yang artinya adalah kemenangan.
Sho benar-benar memukau. Tentara AS amat terkesima menyaksikan serangan nekad yang sulit dinalar ini. Bagaimana tidak? Para pilot muda kamikaze itu dengan beraninya menukik untuk kemudian menabrakkan pesawat-pesawat mereka ke kapal-kapal perang AS. Setiap pesawat rata-rata membawa bom seberat 250 kg. Pasukan kamikaze juga “men- girim” bom-bom terbang yang dikendalikan pilot. Menurut Ohnisi, hanya dengan cara inilah efektivitas kekuatan udara negerinya akan ada pada tingkat maksimal.
Kondisi kapal perang Bunker Hill (CV-17) yang dalam 30 menit dihajar kamikaze Zero sampai dua kali. Akibat kerusakan parah yang dialami, Bunker Hill akhirnya tidak bisa lagi turun ke medan perang.
Kamikaze pertama dilakukan oleh Laksamana Madya Masafumi Arima, komandan Armada Udara ke-26 pada 15 Oktober 1944. Tatkala memimpin 100 pembom tukik Yokosuka D4Y, is tiba-tiba menukikkan pesawatnya ke arah kapal induk USS Franklin. Kapal itu pun hancur. Pangkat Arima kemudian dinaikkan setingkat menjadi Laksamana.
Hingga kini, seberapa besar jumlah kapal perang yang berhasil dihancurkan pasukan kamikaze masih menjadi perdebatan sejumlah pihak. Menurut catatan AU AS, Jepang setidaknya telah melancarkan 2.800 serangan kamikaze dan menenggelamkan 34 kapal perang. Kamikaze juga telah merusak 368 kapal, membunuh 4.900 pelaut, serta melukai 4.800 orang lainnya.
Meski sudah melawan matimatian, Jepang toh tak bisa menepis kekalahan. Born atom yang dijatuhkan AS di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945 benar-benar mengandaskan ambisi Jepang yang ngin menguasai Asia Pasifik. Rakyat Indonesia sendiri tak akan pernah melupakan kekejaman Jepang yang selalu ingin disebut Pemimpin Asia, Pelindung Asia dan Cahaya Asia itu.
Sukar dinalar Kekalahan, dalam tradisi dan kebudayaan Jepang, ternyata merupakan fakta yang amat memalukan. Secara turun temurun orang Jepang seperti sudah mewarisi watak untuk pantang menerima kekalahan. Dalam pekerjaan dan cita-cita, mereka akan berusaha merengkuhnya dengan gigih. Sementara dalam bertempur, mereka akan berusaha menundukkan musuh-musuhnya hingga titik darah terakhir.
Pada saat yang sangat kritikal, tentara Jepang kerap dirasuki semangat Bushido: loyal dan menjunjung tinggi kehormatan sampai mati. Inilah yang luar biasa dan tak dimiliki bangsa-bangsa lain. Semangat ini merupakan warisan utama dari tradisi Samurai – para pejuang yang menjadi pendahulu mereka. Mereka berjuang demi kehormatan bangsa dan Kaisar, kalau perlu sampai menyerahkan nyawa.
Bushido adalah buah keyakinan, dan yang namanya keyakinan memang sukar dinalar. Itu sebab, hanya kesima dan guman tak masuk akal saja yang muncul jika kita ingin memahami keyakinan yang mendasari keberanian untuk mengorbankan nyawa itu. Ketika semangat kamikaze sudah merasuk ke dalam jiwa, tindakan mereka seolah tak lagi masuk akal.
Foto ini diambil pada 26 Mei 1945. Terlihat Corporal Yukio Araki, memegang anak anjing, diabadikan bersama empat pilot lainnya dari 72nd Shinbu Squadron di Bansei, Kagoshima. Araki gugur sehari kemudian padausia 17 tahun dalam misi bunuh diri diatas kapal perang Sekutu di dekat Okinawa
Semangat bushido tumbuh, hidup dan dipelihara di lingkungan Samurai – kelompok pejuang kelas menengah-atas yang rela mengorbankankan nyawa demi mempertahankan budaya dan kekuasaan Kaisar. Bagi mereka, Kaisar adalah titisan Dewa Matahari yang harus dijaga keberadaannya. Mereka akan berjuang habis-habisan dengan seluruh skill dalam berlaga. Meski kaum Samurai hanya hidup antara tahun 905 hingga pengujung abad ke-12, semangatnya masih tertanam dalam sanubari kebanyakan orang Jepang, hingga sekarang.
Selain didasari semangat Bushido, keberanian mengorbankan nyawa juga dilandasi sentimen nasionalisme akibat ketaatan yang amat tinggi terhadap Shinto – agama yang dianut hampir seluruh orang Jepang. Shinto juga menanamkan pegangan hidup agar menaruh hormat kepada negara dan Kaisar. Lewat Shinto mereka menyakini, bahwa dengan mengorbankan nyawa, roh akan menjadi “eirei” atau penjaga negara.
Nama pasukan kamikaze yang gugur di medan tugas akan diabadikan di Kuil Yasukuni. Penganut Shinto yang fanatik akan merasa terhormat jika namanya diabadikan di kuil ini. to karena Yasukuni merupakan satu-satunya kuil di Jepang yang tin dikunjungi Kaisar. Kaisar an mengunjunginya dua kali lam setahun. Penderitaan an pengorbanan mereka akan seta-merta terbayar setelah Sang n,Dewa Matahari menyamarldpa dan penghargaan khu,atau tidak, keyakinan tertanam sejak dini, dalam benak orang-orang Jepang.
Meski begitu, toh ada juga sekolompok orang Jepang yang memandang keyakinan itu amat berlebihan atau mengada-ada. Tsuneo Watanabe Redaksi harian Yomiuri Shimbun, misalnya, menganggap bahwa cerita tentang pilot-pilot muda yang mau melakukan serangan kamikaze dengan gagah be rani dan bahagia melakukannya sebagai bohong belaka. Mereka lebih meyakini semua itu dilakukan dengan keterpaksaan. Mereka adalah pemuda Jepang yang tersesat di “rumah pembantaian”.
“Mereka tertunduk, sebagian tak sanggup berdiri, sehingga harus dipaksa masuk ke dalam kokpit,” ungkap Watanabe, mengisahkan penderitaan pilot-pilot muda yang direkrut masuk ke dalam kesatuan udara kamikaze.
Saburo Sakai, salah satu aces kenamaan Jepang dari masa Perang Pasifik, bahkan termasuk orang yang memandang miris pasukan ini. Terlebih karena sebagian dari pilot-pilot muda itu adalah murid-muridnya sendiri. Ia tak habis pikir, mengapa pimpinan Tentara Jepang sampai membentuk pasukan bunuh diri.
Di mata Saburo Sakai yang tutup usia pada tahun 2000 akibat serangan jantung, kamikaze adalah blunder tentara Jepang. Hingga di pungujung usianya, dia mengaku kecewa dan masih sering membayangkan wajah murid-muridnya yang gugur dengan cara yang konyol itu. “Pimpinan Tentara Jepang telah berbohong bahwa para pilot kamikaze telah menyerahkan diri secara sukarela. Mereka berbohong.” Menurutnya, kamikaze memang bisa digunakan sebagai serangan kejut, dan ini memang merupakan salah satu taktik perang. Namun taktik seperti ini hanya efektifjika dilakukan sekali, dua kali, atau tiga kali. Tetapi jika dilakukan sampai sepuluh bulan, kamikaze sudah sangat berlebihan. Tak akan ada artinya lagi. Kaisar Hirohito sebenarnya hams menghentikan serangan ini.
Apa pun itu, meski akhirnya ditentang sekali pun, kamikaze tetap menjadi legenda yang selalu hidup. Yang tak pernah terlupakan, meski lawan yang diahadapi adalah negara superhebat yang memiliki berbagai keunggulan dan tak pernah habis diceritakan.
No comments:
Post a Comment